Kamis, 10 September 2009

Indonesia dan Malaysia Hampir Datang Berkelahi atas Perairan Sengketa

Rising ketegangan antara Indonesia dan Malaysia atas sengketa wilayah Ambalat maritim dari Kalimantan Timur telah membawa dua tetangga dekat dengan konflik terbuka dalam dua minggu, sekali lagi menyoroti kurangnya mekanisme formal penyelesaian sengketa di kawasan ASEAN.
Malaysia klaim bagian dari Ambalat yang kaya minyak daerah berdasarkan bagan maritim 1979, sementara Indonesia mendasarkan klaim pada tahun 1982 Konvensi PBB tentang Hukum Laut, yang menyatakan bahwa daerah milik Indonesia.
Pemimpin di kedua negara telah untungnya menekankan mereka ingin melihat dialog yang mengarah ke resolusi formal klaim yang tumpang tindih. Tapi seperti semua isu bilateral yang menjadi ancaman bagi perdamaian di kawasan ASEAN, masalahnya bukan kemauan untuk berbicara, tetapi kurangnya akses ke mediasi sengketa yang tepat.
Tampaknya tidak lebih cepat daripada ancaman muncul konflik di daerah ini, dua hal yang umumnya terjadi: Pertama, ketegangan segera bangkit sebagai drum nasionalis dikalahkan di kedua sisi, ada kebingungan biasanya mengikuti suatu kontak dan bergegas pertukaran kunjungan pejabat tinggi sebagai usaha yang dilakukan untuk meredakan konfrontasi yang dapat menyebabkan konflik bersenjata. Kedua, dalam pengingkaran bilateral berikutnya banyak yang dicapai dalam hal mencari cara untuk menghindari bentrokan bersenjata, tetapi jarang formal penyelesaian sengketa dicapai. Salah satu dari beberapa hal kedua pihak cenderung menyetujui adalah kebutuhan untuk mencegah campur tangan pihak ketiga untuk menghindari masalah internationalizing.
Namun justru inilah keengganan untuk melibatkan pihak ketiga yang tidak memihak membantu bahwa sengketa batas ini, seperti Ambalat dan juga antara Thailand dan Kamboja sengketa perbatasan Preah Viharn, yang tidak mengakibatkan konflik bersenjata awal tahun ini, cenderung bernanah terselesaikan.
Dalam kasus Ambalat kita dapat berharap untuk melihat kontak bilateral kebingungan ketika kedua belah pihak berusaha untuk menemukan cara yang lebih baik untuk menghindari bentrokan di wilayah masing-masing sambil mempertahankan legitimasi klaim mereka. Dengan kata lain, sebagaimana yang sering terjadi, mereka akan berusaha untuk mengelola, bukannya menyelesaikan konflik sehingga tidak ada pihak kehilangan muka dan risiko reaksi politik dalam negeri.

Bukan berarti daerah tidak dilengkapi dengan mekanisme untuk mediasi sengketa. Anggota negara dapat selalu merujuk sengketa di antara mereka sendiri untuk Dewan Tinggi ASEAN, sebuah forum mediasi yang belum pernah sekali disidangkan di asosiasi daerah lebih dari 40 tahun sejarah. Meludah semacam ini justru apa yang Sekretaris Jenderal ASEAN harus diberdayakan untuk menggunakan kantor yang baik untuk membantu menyelesaikan. Melakukan hal itu akan memberi makna substantif untuk pembangunan yang sudah disepakati ASEAN dari suatu komunitas keamanan.